Home-Page
|
Malaysia Pasca-Mahathir MohamadOleh SulastomoBESOK (21/3) Malaysia menyelenggarakan pemilu. Bagi PM Abdullah Ahmad Badawi, pemilu itu merupakan sarana meminta mandat (baru) dari rakyat setelah Mahathir Mohamad mengundurkan diri, Oktober 2003. Mandat itu diperkirakan akan diberikan rakyat Malaysia.Yang menjadi pertanyaan, bagaimana masa depan Malaysia tanpa Mahathir Mohamad? Selama 20 tahun, Mahathir berhasil mengantar Malaysia menjadi negara modern dan stabil. Apakah visi 2020, yang dicanangkan Mahathir akan membuat Malaysia menjadi sebuah negara maju, dengan pertumbuhan tujuh persen per tahun akan terwujud? PM Abdullah Ahmad Badawi dapat dikatakan memikul beban berat. Keberhasilan Malaysia, seperti kita lihat kini, oleh banyak kalangan dinilai sebagai peran amat besar Mahathir. Hal ini, antara lain, ditandai berdirinya dua gedung kembar Petronas tertinggi di dunia, Bandara Internasional Kuala Lumpur, Multimedia Super-Corridor Project, industri mobil Proton, dan kualitas standar kehidupan rakyat Malaysia yang meningkat. Dalam buku The Malaysian Journey (2004) terbitan World Economic Forum, khusus untuk menyambut Mahathir Mohamad, para kontributor buku itu, yang terdiri ilmuwan terkemuka dunia, memuji Mahathir sebagai negarawan dan pemimpin visioner yang dapat melihat masa depan, berani mengambil risiko, administrator, dan memiliki daya menumbuhkan motivasi besar bagi rakyatnya. Slogan yang diperkenalkan Malaysia Boleh telah mendorong rakyatnya percaya diri untuk maju, setara dengan bangsa lain. Slogan itu, tulis Pamela Sodhy, profesor di Universitas Georgetown, kontributor buku itu, setara dengan slogan yang diperkenalkan Presiden Franklin D Roosevelt saat Amerika Serikat (AS) mengalami depresi ekonomi tahun 1930-an, The only thing to fear is fear it self. Slogan itu memberi dampak psikologis besar bagi rakyat Malaysia dan AS. Pertanyaannya, apakah di bawah Badawi Malaysia akan melaju menuju visi 2020 yang menjadikan negara itu maju setara negara maju lain? Menurut Mahathir, keberhasilan visi 2020 adalah tumbuhnya kemampuan Malaysia sebagai bangsa yang berjalan ke sebuah tujuan yang sama. Ini berarti, negara Malaysia yang stabil di atas landasan pluralisme, demokratis, dan tetap bersifat Asia. ADAKAH hambatan untuk mempertahankan pertumbuhan Malaysia menjadi negara maju yang demokratis , multirasial, dan tetap "Asia"? Dalam berbagai kesempatan, Mahathir amat menonjolkan dan mempertahankan rasa kebangsaan, nasionalisme, dan sifat "Asia". Frank Jurgen Richter, editor buku itu, bahkan menulis Mahathir sebagai "patriot". Meski sering menampakkan diri sebagai "anti-Barat", dalam pandangan Mahathir, tidak berarti nilai-nilai Barat jelek. Nilai-nilai Timur dan Asia juga baik. Karena itu, selain menerapkan New Economic Policy (NEP) yang bertujuan mengangkat kelompok ekonomi lemah, mengurangi perbedaan kaya-miskin bagi seluruh masyarakat, Mahathir menerapkan Look East Policy (LEP), melihat ke Timur, ke Jepang dan Korea, untuk maju. Ketika merdeka (1957), Inggris meninggalkan pembagian tugas antara etnis Melayu dan China. Kedua etnis terbesar seolah memperoleh pembagian peran dari Inggris, etnis China di bidang ekonomi, Melayu di bidang politik. Bahasa Melayu ditetapkan sebagai bahasa resmi dan Islam ditetapkan menjadi agama resmi negara. Tahun 1969 terjadi kerusuhan etnis, bersumber dari masalah keadilan sosial. Sejak inilah lahir gagasan melakukan reformasi politik dan ekonomi, yang berujung terbentuknya Barisan Nasional dan NEP. Amat mengagumkan, Malaysia dapat membangun sistem politik yang stabil, mempersatukan etnis Melayu, China, dan India dalam Partai Barisan Nasional. Mahathir melihat adanya ketimpangan sosial sebagai faktor instabilitas politik. Dalam buku the Malay Dilemma, Mahathir menyatakan keberpihakannya pada kelompok Melayu yang amat tertinggal dan menuduh Tun Razak, Perdana Menteri Malaysia saat itu, bertanggung jawab atas kerusuhan rasial 1969. Buku itu dianggap "rasialis", bahkan dilarang beredar. Baru saat Mahathir tampil sebagai PM Malaysia (1981) buku itu diizinkan beredar kembali. Selain meneruskan NEP, Mahathir menerapkan affirmative policy, yang secara tegas hendak mengangkat masyarakat "bumiputra" (Melayu) di bidang pendidikan dan ekonomi . Sebaliknya, Mahathir mengakomodasi etnis China dan India di bidang politik, termasuk birokrasi. Kini, bukan pemandangan aneh bila berkunjung ke suatu instansi kita dihadapkan pejabat terdiri dari etnis Melayu, China, dan India. Kemampuannya memimpin bangsa yang plural amat dihargai banyak kalangan karena pluralisme menumbuhkan kekuatan amat penting dalam menentukan keberhasilan pembangunan Malaysia. Dalam pandangan Mahathir, kiat menjadikan Malaysia negara tanpa ideologi. Ideologi Malaysia menerapkan nilai-nilai yang baik dari mana pun datangnya sekaligus menolak nilai-nilai buruk. Begitu tulis Mahathir dalam preface buku itu. SEBENTAR lagi Malaysia memasuki era pasca-Mahathir. Dalam pemilihan umum 21 Maret, UMNO dan Abdullah Ahmad Badawi diprediksi akan memenangkan pemilu, bahkan mungkin lebih besar. Dalam pandangan para kontributor buku itu, ada optimisme laju pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik dapat berlanjut. Visi 2020, seperti diletakkan Mahathir, akan terwujud. Dalam pemilu, agama menjadi isu menonjol. Isu Anwar Ibrahim telah dilupakan. Partai Islam Malaysia (PAS), yang mengangkat isu negara Islam, merupakan satu-satunya oposisi yang dihadapi UMNO. Untuk itu, PAS mengangkat isu perdana menteri harus beragama Islam. Pertarungan PAS-Barisan Nasional tampak dari calon yang diajukan. Untuk mengimbangi calon-calon PAS, Barisan Nasional mengajukan calon-calon kalangan Islam, misalnya, imam masjid nasional dan kalangan cendekiawan muslim karena mantan imam masjid nasional dan beberapa cendekiawan Islam menjadi calon PAS. Abdullah Ahmad Badawi juga menampilkan diri sebagai Islam moderat dan bersikap tegas terhadap teroris. Oleh kalangan PAS, sikap itu dianggap menguntungkan kelompok non-Muslim. Barisan Nasional menjanjikan terwujudnya pemerintahan yang bersih dan pemberantasan korupsi. Isu ini dijawab PAS, adanya dugaan anak Abdullah Ahmad Badawi terlibat bisnis tidak benar. Gambaran pemilu nanti merupakan bahan utama guna memprediksi Malaysia pasca-Mahathir. Kini 14 calon Barisan Nasional berhasil memenangkan pemilu karena di daerah pemilihannya tidak ada calon dari oposisi (PAS). Sampai 2010, dapat dipastikan, Barisan Nasional tetap memimpin Malaysia. Namun, tantangan yang dihadapi tidak ringan. Skenario pesimis berdasar asumsi kecenderungan yang akan terjadi. Bagaimana Malaysia dapat tetap menjaga stabilitas politik yang amat plural? Bagaimana Malaysia dapat melanjutkan kebijakan Islamnya yang "moderat" sehingga menjadi negara modern, namun Islami dan bersifat "Asia"? Inilah tantangan bagi Abdullah Ahmad Badawi. Sulastomo Koordinator Gerakan Jalan Lurus http://kompas.com/kompas-cetak/0403/20/opini/922610.htm
|